Peristiwa

Massa GPI Geruduk PN Tulungagung: Yang Satu Kardus Ditangkap, Satu Gudang Dilepas

admin
  • Rabu, 23 Februari 2022 | 00:00

Tulungagung, Koranmemo.co - Puluhan massa Gerakan Pembaharuan Indonesia (GPI) melakukan aksi protes di Pengadilan Negeri (PN) Tulungagung pada, Selasa (22/2).

Pasalnya, mereka mempertanyakan proses hukum penjual miras lantaran penjual yang menyimpan miras segudang dibiarkan, sedangkan penjual miras yang hanya membawa beberapa botol justru diamankan.

Ketua Gerakan Pembaharuan Indonesia (GPI) Jaka prasetya mengatakan, penjual miras yang dimaksud yakni JS, yang diamankan oleh Polisi usai kedapatan membawa 5 botol arak bali dan 8 botol minuman anggur cap orang tua.
Dikatakan, pihaknya mempertanyakan kinerja Jaksa dan hakim dalam mengusut kasus tersebut. Padahal sebenarnya, ada pelaku penjual miras yang justru memiliki miras segudang, namun juatru dibiarkan.

"Yang satu kardus ditangkap, yang satu gudang dibiarkan. Harusnya tangkap DPO itu," kata Joko Prasetya, Selasa (22/2).

Selama menjelaskan aksinya, pihaknya juga memantau jalannya sidang terhadap terdakwa JS melalui monitor yang disediakan oleh PN Tulungagung. 

Namun sebenarnya, jelas Jaka, banyak proses hukum terhadap JS yang dirasa kurang pas. Itu karena kandungan miras yang dijual oleh terdakwa sebenarnya sama dengan yang dibuat oleh perusahaan. 
Hal itu membuat pihaknya merasa jika itu kurang pas jika dimasukkan dalam pelanggaran hukum dan dicantumkan dalam dakwaan.
 "Sebagai masyarakat kami  punya hak mengoreksi kinerja Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim. Tapi bisa kita lihat, ternyata terdakwa menjalani persidangan tanpa ada pengacara. Padahal ancaman hukuman lebih dari 5 tahun," jelasnya.

Dikarenakan JS terbukti membawa 5 botol arak bali dan 8 botol anggur merah, ungkap Joko, terdakwa justru dijerat dengan Undang-undang perlindungan konsumen.
 Padahal sebenarnya, jeratan itu dirasa kurang tepat lantaran pada produk yang dijual terdakwa tercantum komposisi, tanggal kadaluwarsa serta efek samping. 

Mengingat itu semua merupakan kewajiban produsen dan bukan penjual. Selain itu, jeratan Undang-undang Pangan juga dirasa kurang tepat, lantaran tidak ada upaya mengolah bahan pangan menjadi minuman. 
Bahkan terdakwa juga tidak ada upaya pencampuran atau mengolah bahan-bahan tertentu menjadi  minuman beralkohol.
 "Kalau orang yang mengedarkan atau kulakan di daerah, pengaturannya ada di Perda pengendalian minuman beralkohol. Padahal minuman yang dijual terdakwa itu tidak ada kandungan lain yang dicampur di situ," ungkapnya. 

Tidak sampai disitu, lanjut Jaka, kasus ini diperparah denhan JPU yang menggunakan Pasal 64 UU Cipta Kerja. Padahal pasal tersebut sudah dihapus, sehingga tidak bisa dipakai dalam dakwaan alternatif maupun akumulatif.

Rekomendasi Untuk Anda

Berita Lainnya